Selasa, 14 November 2017

Bangun Pagi

udara bening, ketenangan mencapai puncaknya, dan kesadaran telah melampaui batasnya. Saya baru pulang dari kampus, menyelesaikan pembuatan orang-orangan sawah untuk keperluan pentas. Meskipun pada akhirnya pertemuan kami tidak menghasilkan apa-apa, selain kebingungan dan kebuntuan tentang bagaimana menyelesaikannya, paling tidak kami sudah mencoba. Kebutuhan inni sesungguhnya agak berat untuk tim Perlengkapan, pasalnya yang dibuat bukan hanya orang-orangan sawah yang biasa dipasang petani, kami harus membuat sebuah diorama orang-orangan sawah.

Seperti yang sudah saya bilang, saya baru pulang dari kampus.  Sekarang pukul dua belas lebih tiga belas, udara bening dan ketenangan telah sampai pada puncaknya. Saya tidak khawatir apa-apa, ketenangan ini nikmat dan membahagiakan, kecuali satu hal; bagaimanakah saya harus bangun esok hari? Saya memang telah memintamu untuk membangunkan saya lewat telepon, tapi sebenarnya saya tidak menjamin, paling tidak adalah usaha agar saya bisa bangun besok pagi. Biasanya, alarm lima kali saja saya tidak sadar, dan siapa tahu, sebab kamulah yang membangunkan saya,  saya bisa kembali terjaga.

Sebenarnya, ini belum larut menurut orang-orang yang biasa tidur menjelang pagi, belum ada apa-apanya dan memang begitulah saya: selalu sulit dan merasa gagal untuk tridur sedikit lebih lama, apa lagi jika menghadapi tugas kuliah. Saya pernah mencoba tidur lebih awal dan berharap bangun sekira pukul dua, mencoba menulis atau apalah, tapi pada kenyataannya saya gagal, alih-alih pukul dua saya justru bangun ketika pagi sudah beranjak terang.

Beruntunglah orang-orang yang terbiasa bangun pagi, mereka bisa melakukan aktivitas dengan khusyuk dan terhindar dari pikiran yang ruwet.

Waktu telah berjalan mendekati pukul satu, rasa kantuk mampir, mulai muncul bunga di kening saya, pelan-pelan rekah, seperti doa-doa yang pasrah.  Ah, saya harus segera tidur.



Selasa, 07 November 2017

Mengejar Mangga

Jangan terlalu serius membaca judul ini, mangga tidak benar-benar berlari dan mana mungkin saya mengejarnya. Ceritanya begini, sekira menjelang pukul satu siang, sambil istirahat menikmati ketidakhadiran dosen, saya menunggu pelanggan masuk dan sibuk konfirmasi sana-sini soal pelunasan barang yang akan ikut pengiriman hari ini. Seorang bapak, dengan perhatiannya memesan shampoo anti kutu yang saya jual untuk putrinya, mungkin hampir putus asa, kutu-kutu itu tak kunjung juga berpisah dengan kepala putrinya.

 Sedang tenggelam dalam kesibukan itu, tiba-tiba saya rasakan perut berbunyi beberapa kali. Tidak biasanya, pikir saya. Pagi tadi saya sarapan sekira pukul setengah sembilan dengan porsi biasa, cukup mengherankan mengingat hari-hari biasa, bahkan saya cukup makan gorengan dan arem-arem.
Saya jadi penasaran dan menerka-nerka, jangan-jangan ada masalah dengan menu sarapan yang saya makan, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan es dawet yang saya beli di jalan pulang menuju kosan, sedang dipenuhi pikiran itu, badan saya tetiba lemas, saya makin cemas. Di atas kasur saya berbaring dengan gelisah, meski dengan jari-jari bergetar saya usahakan tetap profesional membalas pertanyaan-pertanyaan konsumen.

Beberapa menit kemudian, saya sudah tidak tahan, barangkali saya hanya lapar, tapi telpon dari pacar saya makin keras dan nyaring berbunyi. “Ada apa sebenarnya? Kamu ga papa kan?” saya paham, sedikit saja teledor, saya akan membuatnya cemas. Saya mulai membayangkan aroma klinik, obat-obatan, ah itu menakutkan! Akhirnya, mengenakan training yang saya pakai semalam, saya bergegas dengan tenaga seadanya menuju warung makan. Saya hanya ingin makan, bukan klinik, obat atau lain-lain, pikir saya. dalam kayuhan sepeda itu, saya tahu, ia menahan cemas. Saya tutup sebentar teleponnya, dengan kata-kata “Tenang, saya akan baik-baik saja, Diriku.”

Di jalan, sebelum berbelok ke warung makan, saya berpapasan dengan seorang bapak paruh baya yang  menuntun sebuah sepeda dengan keranjang penuh mangga. Ingat percakapan telepon dengan ibu beberapa hari lalu, tetiba saya pingin satu hal; mangga. Tapi terlalu banyak keinginan di tengah krisis begini bukanlah suatu hal yang baik, pikir saya. saya berbelok ke warung makan, mencoba dengan keras untuk melupakan keinginan-keinginan  soal mangga.

 Benar dugaan saya, saya hanya butuh makan. Menghabiskan satu porsi lele sambal dan kuah sop, tenaga saya pelan-pelan terisi kembali. Dengan sisa lemas dan cemas telepon itu, saya pulang menuju kostan. Di jalan, ada sesuatu yang membuat saya tak bisa menahan keinginan saya terhadap mangga, mulanya saya pikir akan sia-sia, entah sudah berapa menit yang lalu bapak itu lewat di belokan ini. Sepeda saya melaju, menyusuri jalan raya, mengejar sebuah sepeda dengan keranjang penuh mangga.


Di ujung jalan, hampir melewati lampu merah, saya menemuknnya! Sepeda tukang mangga itu berhenti di depan sebuah bengkel, saya beli dua buah, dan  ketika kamu membaca paragraf ini, dengan bahagia, saya telah memenuhi keinginan saya.  

Pacar Tak Kasat Mata

Ia menelpon saya selepas isya, dan bilang; “kamu harus makan betapapun hanya sedikit uang yang tersisa di dompetmu!” Saya menimbang-nimbang, ya, memang hanya tersisa empat lembar uang di dompet saya; yang tiga tak berlaku di negara kita, yang satu duapuluh ribuan berwarna hijau yang malang. Saya belum sempat atau ingin ke mesin ATM lagi dan pikir saya apalah yang bisa diharapkan dari rekening yang isinya hanya uang minimum yang tersisa di rekening dan lebihnya sedikit, sekali tarik ludes. “Tapi besok adalah besok yang artinya kamu harus makan betapapun hanya sedikit uang yang tersisa di dompetmu!” Ia ngoceh lagi, seperti pacar yang ngambek kalau batal kencan atau seminggu lamanya tidak diperhatikan.

Lalu, dengan celana training dan uang duapuluh ribuan yang malang dan hanya satu-satunya, di simpang jalan saya bingung mesti ke  angkringan dengan nasi kucingnya yang maha sedikit tapi murah atau burjo  yang agak mahal tapi juga sedikit nasinya? Dan sepeda menuntun saya ke sebuah burjo, memesan sebungkus nasi dengan lauk sederhana dan pulang ke kosan dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Sudah puas? Tanya saya, ia memang suka cemas. Ia tidak menanggapi, tapi kemudian berkata seperti pacar perhatian di dalam mimpi; “Begitu dong, jangan sampai telat makan!”

Setelah itu ia menutup teleponnya, dan tidur kembali di dalam dada dengan perasaan bahagia, saya bilang sambil mengelus-elus kepalanya,  saya akan baik-baik saja, jangan khawatirkan saya, diriku. Ia balas dengan senyum seperti bibir seorang pacar yang ranum.


Minggu, 05 November 2017

Dari Puisi, Ke Jalan Lain Ke Kalimantan

Dipeluk sepi Kota Marahaban dini hari, sekitar pukul 01.00 atau 02.00 WITA, saya berjalan seorang diri meninggalkan tempat acara di Kantor Bupati menuju penginapan yang jauhnya saya pikir tidak seberapa. Temu Sastrawan Tifa Nusantara 3 baru saja ditutup, selepas acara, para sastrawan dari penjuru negeri itu sedang asyik-asyiknya menaridi atas panggung utama diiringi lagu-lagu daerah Kalimantan. Saya, setelah ambil dan ikut sejenak menjadi bagian dalamkerumunanitu kini kelelahan, lalu memutuskan untuk kembalikepenginapan lebih dulu.

*

Jumat, 28 Oktober 2016, dalam rangka memenuhi undangan Temu sastrawan Tifa Nuantara 3yang dihelatdi Kota Marabahan, Kabupaten Barito, Kalimantan Selatan. Saya berangkat dan memulai petualangan ini dengan rasa syukur dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada –siapapun Anda- yang telah membiayai tiket perjalanan ini, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah berkali-kali lipat membalasnya.

Ini adalah pengalaman perdana menjejak Tanah Borneo, saya berangkat seorang diri hanya bermodal kebernanian dan tekad yang diyakin-yakin. Saya sempat tersesat di Bandara Soekarno Hatta gara-gara salah turun terminal. Akibatnya saya mesti berjalan kaki dari Terminal 1A ke Terminal 1C yang jaraknya cukup membuat sedikit kelelaha. Belum lagi, semua euforia ini membuat saya lupa makan dan baru saya sadari ketika rasa lapar itu harus saya kunyah pelan-pelan di ruang tunggu.

Setiba di Bandara Syamsudin Noor saya menghubungi panitia, lalu saya dijemput menggunakan mini bus yang berisikan peserta lain. Setelah mini bus terisi penuh kami berangkat menuju Kota Marabahan, perjalanan ditempuh selama 2 jam melewati Kota Banjarmasin. Malam pertama di Kalimantan saya begitu menikmati perjalanan ini sebelum akhirnya saya terlelap tak sadarkan diri.

Setiba di penginapan,peserta langsung digiring ke tempat acara, malam itu, acara Temu Sastrawan Tifa Nusantara 3 dibuka secara resmi oleh pejabat setempat, diikuti oleh penampilan-penampilan seperti dramatisasi puisi oleh Sanggar Sesaji Banjarmasin yang diiringi musik-musik khas Dayak yang bikin merinding. Dan yang penting, tentu saja, akhirnya saya ketemu makan malam!

Paruh pertama hari kedua diisi dengan diskusi sastra, dilanjutkan dengan makan siang, lalu, acara wisata ke Jembatan Rumpiang dan Jembatan Barito. Sepanjang perjalanan, kami ditemani oleh Putri Pariwisata Kabupaten Barito Kuala, yang bersedia menjelaskan ini-itu atau apa saja yang ditanya peserta sepanjang perjalanan.

Hari kedua, malam terakhir, acara ditutup dengan pembacaan nominasi 10 puisi terbaik yang dimuat dalam IJE JELA Antologi Puisi Tifa Nusantara 3 Marabahan dan perform pembacaan puisi oleh peserta. Alhamdulillah saya tidak masuk nominasi, Alhamdulillah saya tidak jadi tampil membacakan puisi karena telat daftar. Tiba-tiba, saya merasa perlu mensyukuri segala sesuatu.

Petualangan saya di Kalimantan diakhiri dengan insiden “hampir ketinggalan pesawat”. Semula bermula oleh agenda wisata yang tak terduga dari panitia, semula saya dan rombongan berangkat pukul 06:30 WITA dari penginapan menuju bandara. Dua jam kemudian kami tiba di Banjarmasin. Tiba-tiba bus diarahkan untuk berhenti di Pasar Terapung Kota Banjarmasin untuk berwisata. Saya dan seorang teman dari Makassar kelabakan sebab tiket kami yang akan berangkat pukul 11. Itu artinya, tersisa dua setengah jam sebelum keberangkatan. Sementara bandara masih 1 jam perjalanan lagi. Akhirnya, saya berusaha menghubungi saudara yang kebetulan tinggal di Banjarmasin. Setengah jam kemudian, ia datang, dan kami buru-buru melaju, menyusuri jalan-jalan Kota Banjarmasin.

Dalam kesempatan ini, saya mengucap syukur berkali-kali atas nikmat yang dicurahkan Tuhan hari-hari belakangan ini, betapa puisi telah membawa saya bertualang hingga sejauh ini. Saya tidak pernah menyangka, satu mimpi yang satu tulis di buku diari Januari lalu kini terwujud juga; saya ingin jalan-jalan ke Kalimantan!

Di jalan pulang, salah seorang teman mengirim pesan “betapa cepat semua ini berlalu, ya. Seperti mimpi!” Kini, setengah senyum dipeluk kain Sasirangan pemberian panitia semalam. Pelan-pelan saya menyadari, mungkin hidup kita memang terbuat dari mimpi, dari kefanaan yang benar-benar abadi.

Musim Nyamuk, November 2016

Minggu, 29 Oktober 2017

Menjelang Usia Sembilan Belas

“Hari-hari berulang, kita tak akan kembali berada di tempat yang sama
 kecuali dengan kembali mengingatnya..”

Menjelang tepat di usia sembilan belas; sederhana saja, seperti yang lain-lain, seperti yang sudah terdengar klise di telinga kita: saya ingin hari-hari jauh lebih baik. Tidak begini-tidak begitu dan tidak seperti yang tidak diinginkan, tentunya. Saya cuma manusia biasa yang punya banyak keinginan, dan sekedar ingin dan walaupun hanya beberapa atau bahkan sedikit saja yang terwujud jadi kenyataan, itu hal yang biasa.

Barangkali kamu belum tahu, beginilah saya merayakan hari kelahiran; sederhana dan jauh dari gegap gempita pesta. Bukan saya tidak suka kejutan atau kado-kado dari teman, keluarga atau yang lainnya. Saya hanya merasa lebih khusyuk merayakannya dengan diri saya sendiri. Ya, seperti yang sudah-sudah, kami berdua hanya akan melaluinya dalam tulisan-tulisan semacam ini.

Dulu, ah saya ingat, dulu sekali waktu masih kelas empat esde mungkin, pertama kali saya dapat kado ulang tahun. Sebelumnya mungkin pernah, tapi saya lupa. Waktu itu seorang kawan perempuan, saya masih ingat sekali, buku tulis, digulung dan dibungkus kertas kado, dan tak lupa kertas label. Waktu itu masih zamannya kertas label harga dijadikan semacam tipe-x dan digunakan untuk menambal tulisan tangan yang salah.

Kelas satu esema, pertama kali saya dapat kue tart pake lilin menyala di atasnya, tidak begitu mewah sebenarnya, tapi itu adalah kali pertama seumur hidup saya. Tapi setelah itu saya tidak  pernah lagi, tidak ingin lagi.

Hari ini, saya ingin menghadiahi diri sendiri dengan mengingat satu hal. Satu fragmen kecil dalam hidup; saya pernah jatuh dari pagar sekolah setinggi dua meter dan terkilir di bagian kaki. Alih-alih diobati, sampai rumah saya dimarah habis-habisan, di naikan ke loteng dekat tower air dalam keadaan kaki terkilir, lalu diikat di kursi beberapa jam. Saya tidak ingat persis apa sebenarnya salah saya waktu itu, dan sampai sedewasa ini, hal itu tetap lucu di kenangan, entah kenapa.

Andai ada yang bertanya tempat mana yang paling ingin saya tuju, jawab saya: tentu saja masa kecil seandainya bisa. Tapi hidup kita ini bergerak, kita tak akan kembali berada di tempat yang sama kecuali dengan kembali mengingatnya.

...

Hari ini, menjelang tepat di usia sembilan belas; sederhana saja, seperti yang lain-lain, seperti yang sudah terdengar biasa di kalangan umat manusia, saya mau jadi lebih baik dan dipertemukan dengan segala hal yang baik-baik, dan hari ini, seperti yang sudah-sudah, saya tidak ingin pesta, kado, kue tart, kejutan dan lain-lain, kami berdua –– ya,saya dan diri saya, hanya ingin merayakannya dalam tulisan ini: selamat ulang tahun, manusia!


Jumat, 20 Oktober 2017

Jatuh Cinta

Kita kerap jatuh cinta dan selalu gagal menyembunyikannya.
Minggu, 15 Oktober 2017

Senja

Tiba-tiba saya kangen warna senja. Lama rasanya tidak duduk diam menikmati keheningan di bawah senja yang pelan-pelan surut. Sore ini, ditumpuk sejuta bayang-bayangmu, kepala saya rasanya berat dan butuh hal-hal yang bisa membuatnya terasa lebih ringan. Dan entah kenapa saya pilih menyalakan komputer, memilih satu lagu dari sekian banyak folder,  dan mampus! Saya dibuat terhenyak pada satu larik “Lagu untuk Sebuah Nama” Ebiet G Ade; sebab cinta bukan mesti bersatu...

Entahlah, tapi tiba-tiba saya ingin bertanya pada diri sendiri; apakah yang sebenarnya sedang saya rindukan? Jangan-jangan saya tak pernah benar-benar merindukan warna senja, jangan-jangan di bagian pikiran saya yang lain, saya justru sedang merindukanmu? benarkah begitu? Benarkah saya cuma pura-pura merindukan warna senja padahal saya sedang pusing ditimpa nama-nama yang jatuh dari langit? Benarkah begitu?


Begitulah, pelan-pelan saya menyadari, biarpun kelak kamu tidak akan jadi milik saya, paling tidak kamu pernah hadir dalam hidup saya, paling tidak kamu pernah hidup dalam paragraf kecil ini.
Sabtu, 14 Oktober 2017

Tiga Puisi

SUATU KETIKA

Ketika memandang halaman dan hari sedang hujan,
Daun-daun bebas bertebaran padahal angin berhembus
Pelan padahal dua jam lalu langit tenang, kukira senja akan
Merah dan tepat sekali ketika sunyi memandangku dari
Kejauhan, malam turun pelan-pelan.

(Solo, 2017)

MASA KECIL HUJAN

1/
Selalu menyenangkan
Menjadi anak kecil, pikirnya

Ia sama sekali tidak butuh payung.
Hanya teduh mata ibunya

Dan sedikit anggukan ketika ia meminta,
Tanda ia diperbolehkan.

Di sepanjang masa kecilnya, ia hanya
Butuh tertawa.

2/
Kini, bersama kenangan
Yang menitik di kedua matanya

Ia biarkan hujan di luar jendela
Makin deras mengguyur tubuhnya

( Solo, 2017)

NYAMUK DAN HUJAN

Mungkin karena hujan
Nyamuk beterbangan
Dan hinggap di lenganku

Mungkin karena hujan
Nyamuk kedinginan dan
Menghisap hangat darahku

Mungkin karena hujan
Ya, karena hujan makin deras
Dan menghanyutkana rumahmu.

(solo, 2017)

TENTANG PENULIS

Muhammad Habibur Rohman, lahir di Lampung, penyuka musik indie dan hujan.

Dimuat di Nusantaranews.co edisi 8 Oktober 2017
Minggu, 01 Oktober 2017

Rambut Panjang

Rambut saya sudah mulai panjang, biasanya takut kena razia guru sehingga rambut samping jarang sampai menyentuh kuping. Sudah tiga bulan kira-kira,sejak tinggal di kota ini, saya belum sempat atau mau memotongnya. Agak risih memang, sebab saya belum terbiasa. Pikir saya selama ini, memelihara rambut hanya akan memperburuk perangai saya, sebab kata ibu waktu kecil dulu, kalau rambut saya panjang, saya jadi nakal.

Hari ini saya tidak sekecil itu, Bu. Pernah saya bilang kalau  mau punya rambut panjang biar bisa dikuncir, ibu saya ngomel tak habis pikir. Buat apa? Katanya.  Jadi sastrawan itu yang penting karya dan ilmunya, bukan rambutnya, timpal ayah. Saya cuma bisa mangut-manggut. 

Di kampus saya, lelaki berambut panjang adalah hal yang lumrah. Waktu pertama kali mendapati kenyataan itu, seketika terbit kembali sesilam cita-cita kecil. Tapi, entah juga. Beberapa hari yang lalu saya sempat menjadwalkan diri ke tukang cukur, tapi tidak jadi. Apakah ini pertanda bahwa saya mesti memanjangkan rambut saya?


Entah, yang jelas, hari ini saya keramas dua kali dan rasanya rambut jadi lembut dan ringan. 
 
;