Ini tahun ke tujuh saya pergi dari rumah, dari kehangatan yang
telampau nyaman. Dan ini, tahun ke tujuh pula saya jadi orang asing tidap kali
pulang ke rumah sendiri, tiap kali kembali ke kehangatan yang terlampau nyaman
itu. Dulu, usia saya masih 12/13 ketika pertama kali pergi dari rumah,
berangkat ke kota lain yang tak menyediakan sanak saudara. Ya, sejak itu, saya
belajar menjadikan siapa saja yang saya temui sebagai saudara. Begini memang,
nasib perantau. Saya tidak tahu, akhir dari perjalanan ini mungkin adalah rasa
kengen paling premium terhadap kehangatan, terhadap rumah yang telah
membesarkan saya. Entahlah, mungkin justru membuat saya –alih-alih makin rindu – semakin lupa kepada rumah.
Saya tidak mengkhawatirkan apapun, bahkan kelak jika harus hidup di
tempat lain yang jauh dari rumah. Yang jelas, kemanapun saya pergi, rumah ini
akan selalu saya bawa dalam hati juga ingatan. Yang jelas, kemana pun saya
pergi, saya tetap punya rumah untuk kembali. Tetapi makin kesini, belakangan saya jadi
berpikir, mungkin rumah saya adalah dimana saja, kota-kota, desa-desa,
dimanapun saya berada dan hangat di dalamnya, di situlah rumah yang sebenarnya.