Sabtu, 06 Agustus 2016

Catatan Kecil Tentang Hujan

Aku merasa mendengar suara...
-Eibiet G Ade 

Di sini, sebutir embun jelas bukan lagi kesunyian paling dingin: gerimis turun sebagai sesuatu yang tak tertampung-- hujan melenting dari atap rumah, menggali lubang-lubang kecil dan membenamkan dirinya sendiri ke dalam tanah. Kupikir, kesunyian jelas bukan cuma lengang jalan tanpa orang-orang, atau sebuah narasi tentang hujan di halaman rumahmu. Tetapi, pernahkah kaudengar teriak lantang secuil batu? Pernahkah kaudengar rintih ranting-ranting jambu? Pernahkah kaudengar suara merdu perempuan bisu? Atau pernahkah kaudengar embun nenyampaikan sesuatu setelah membaca matamu?
Di suatu kota, barangkali ada yang sedang duduk membaca sesuatu di luar jendela. Lalu sayup-sayup terdengar suaramu di sela-sela hujan yang melenting jatuh itu. 'Di sini hujan juga.'

7 Catatan Tentang Melankoli

Daun-daun jatuh di jalan,angin terluka menyanyikan musim-musim,
Dan sunyi kuncup di matamu--sebagai doa paling tenang; semoga sehat selalu menyertaimu.
*
Cinta tercipta dari tatap mata sepasang manusia pertama; dari ketulusan paling sempurna di jagad raya.
*
Bagaimana mungkin sepasang sepatu melangkah bersisian tanpa saling mengenal; membiarkan cinta tumbuh pelan-pelan dan tak terucapkan seperti debu, sampai hilang suara, ditelan butir-butir waktu?
*
Jangan-jangan, setia adalah bersisian kemana pergi; aku ada dimana kau mencari.
*
DESKRIPSI: malam berubah jadi sesuatu dingin di dua butir matamu: sehelai handuk tersampir di jemuran, ada hanger gantung diri tanpa arti--cahaya lampu merambat di lantai; terang bagi satu-dua semut memikul jalan pulang--di luar, langit seperti kepiluan yang tanggung; tak ada bayang-bayang bulan di selokan, tak ada kerlip bintang di baskom air sisa hujan.
Dan kamu berdoa supaya esok adalah keselamatan. Dan aku-bayangan tubuhmu- menyelipkan satu dua kalimat dalam doamu; semoga esok adalah perjumpaan!
*
Tenang mengusap sepasang matamu, mengekalkan memori tentang perjumpaan; selengkung senyum, mekar di ambang pintu.
*
Rindu tercipta dari perjumpaan pertama; dari tatap mata, dan segala sesuatu yang tak bisa membuatmu lupa.

-Paragraf Hujan-
Senin, 13 Juni 2016

Kardus



'Menguar terbawa angin, entah kemana,
berharap jatuh di alat ingatku'
––U**

Di asrama, saya dan teman-teman tengah sibuk mengemas barang-barang. Mengeluarkan seluruh isi lemari dan membuang segala sesuatu yang tak penting namun tanpa saya sadari telah menyimpannya begitu lama di dalam lemari. Begini tiba-tiba, perpindahan ternyata menyebalkan; mengemasi barang-barang, merapikannya lagi seperti semula, adaptasi pula dengan tempat baru. Perpindahan kadang juga menyebalkan meski tak selalu mendatangkan keburukan.

 Ah, bukankah dimana-mana, manusia akan merasa berat hati meninggalkan suatu tempat yang sudah kadung bikin suasana nyaman? Sedikit banyaknya, saya juga merasa begitu.  Entah iya entah tidak, tapi kadang saya juga bosan menetap di suasana yang melulu ‘ini’. Menjumpai hari-hari yang itu-itu juga, mendapati kenyataan yang lari ke situ-situ juga.  Tetiba saya kepikiran, perpindahan semacam ini  bisa jadi juga semacam alat refleksi buat saya; untk sekadar mensyukuri hal-hal lama, ya, kadang saya pikir, kita ini butuh suasana baru untuk sekadar mensyukuri masa lalu. 

Saya sedang membayangkan hidup orang purba seperti yang ditulis dalam buku-buku sejarah; nomaden. Ternyata, sedikit banyaknya kita tak jauh beda dari orang purba. Bagaimanapun, hidup kita berpindah-pindah jua; dari satu kota ke kota lain, dari satu hari ke hari lain, dari satu pekerjaan-ke pekerjaan lain, dari satu hati ke hati lain.  Evolusi, ternyata tidak mengubah sepenuhnya; manusia tetap purba memenuhi nafsunya.

...

Dari lemari, buku-buku saya keluarkan; memasukkannya ke dalam tas jinjing. Kardus-kardus itu saya isi perabot-perabot pribadi, dokumen-dokumen, dan perkakas-perkakas kecil yang spele namun berarti, semacam gunting kuku. Dua ekor kupu-kupu kertas yang saya buat beberapa minggu lalu dan sengaja saya tempelkan di pintuu lemari protes kepada saya, minta dibawa juga. Ia merengek, mengibas-ngibaskan sayap kertasnya dan bilang bahwa mereka tak mau selamanya menempel di pintu lemari itu.

‘Kamu kan yang menciptakan kami.’ Mereka menyela ketidakingintahuan saya terhadap nasib mereka. apakah saya mesti membawa pergi mereka juga? Kardus barang-barang saya meringis, tanda keberatan. Tak ingin ditambah beban lagi.  Baiklah, mengapa tak saya biarkan dua ekor kupu-kupu kertas itu terbang bebas saja? hinggap di bunga-bunga, berenang di udara? ah, seandainya hidup mereka nyata!

Kini saya menatap si kardus. Sungguh malang nasibmu, kasihan juga saya melihatmu diisi beban seperti itu. Saat itu juga saya menyadari betapa pentingya kardus. Saat pindah rumah macam ini keberadaannya memang sangat dibutuhkan, selebihnya ia hanya penghuni gudang yang setia; diisi barang-barang lama, berteman dengan bau pesing kecoa. Ah, yang kita tahu, kardus hanya mampu menyimpan debu dan masa lalu.    

...

Saya pikir lagi, apakah saya mesti menyimpan namamu, matamu, dan segala ingatan tentangmu di dalam kardus?; membiarkanmu rapuh dimakan waktu, berdebu, dan tertinggal jauh di masa lalu?
Senin, 06 Juni 2016

Anak-Anak Masa Lalu*



‘... aku ingin pulang..’ – Ebit G Ade

Konon, masa lalu adalah jejak yang tertinggal jauh di dalam ingatan; sesuatu yang tidak mungkin kau sentuh dengan tangan. Kau hanya bisa menatapnya dari masa depan, dari kejauhan; seperti menatap buritan kapal  yang pelan-pelan jauh dan menjelma titik hitam, lalu tenggelam dalam senja yang karatan. Kau hanya bisa mengingatnya seperti styrofoam mengapung di muka kolam; kau tak bisa menyelam lebih dalam dan kembali ke masa silam.

Konon kenangan dicipta dari masa lalu; disusun dari ruang dan waktu, tempat terjadinya peristiwa yang membawamu terlibat di dalamnya. Masing-masing orang punya kenangan; selembar ingatan tipis di dalam kepala, yang kadang bisa bikin gerimis menitik di sudut mata, atau selengkung senyum tumbuh di muka.

Kita hanya anak-anak masa lalu, yang terlahir di hari depan, dan dibesarkan oleh kenangan.   

...

Saya mengingat masa-masa yang sudah jauh itu ketika pagi ini, saya dapati beberapa teman masa kecil saya berkumpul dalam sebuah kolom komentar. Seorang teman menulis status yang menyulut kerinduan pada masa lalu, mengulas cerita-cerita lama, ah betapa melankoli!

Saya pun mengakui, diri saya hari ini juga tercipta dari masa lalu, ada bagian paling tidak terpisahkan; ingatan. Masa lalumu menentukan  siapa kamu hari ini. Maksud saya, tidak juga menjadi diri yang itu-itu juga dan tanpa mengalami perubahan sedikitpun, masa lalu bisa membuat hidupmu bertolak dari jalan sebelumnya, menjadi batu loncatan di kemudian hari.

Ah, tetiba saya kepikiran J, Si Tinggi Gemuk itu suka bikin penuh gawang kalau main sepak bola. Gelagat bicaranya yang ‘ceplas-ceplos’ itu sangat lucu jika dipadukan dengan kepolosannya. Maaf, J. kusebut kau bocah polos karena memang kau tak pernah berani melawan DI dan selalu terima-terima saja kalau dianiaya. Terus terang saja sampai hari ini aku masih geram perkara kelicikanmu, diam-diam pulang sewaktu main petak umpet. Hahaha

DI, tampaknya kau memang punya bakat jadi pencuri. Apakah kau masih ingat perkara mencuri kelapa muda milik Pak KH? Atau perkara kau menyeret aku saat memancing di kolam milik orang? Ah, yang benar saja, kenapa aku dulu mau ikut denganmu? Diam-diam, aku menyesal juga pernah melakukan itu. hahaha

DA, J, DI, NA, IL, DM, AR, AL, SU,EN,AY, RO, harus bagaimana kita minta maaf pada pemilik kolam yang diam-diam kita pancing ikannya itu? apakah permpuan yang tersengat lebah setelah sarangnya kita lempar ramai-ramai itu masih ingat? Jangankan, kita saja lari tunggang langgang dan tak mau mengakui perkara itu. hahaha.  Apakah kalian masih ingat perkara mengubah sawah kering menjadi lapangan bola? Apakah semangat itu masih ada? melempari mobil-mobil di jalan dengan petasan, lalu lari sembunyi, kita memang pelari yang handal, bukan?

Ingatan-ingatan soal itu masih manis di kepala saya.

Hari ini kita sudah berjalan di atas kaki masing-masing; tetapi, bukankah masa lalu selalu ikut kemana kita pergi?

...

Konon, masa lalu adalah jejak yang tidak bisa dihapus oleh siapapun. Seberapa besar usaha-usaha untuk menghapusnya adalah sia-sia. Konon masa lalu adalah bayangan yang selalu lekat pada tubuhnya, ikut kemanapun hari depan pergi, jadi siapapun kau nanti. Konon tak ada yang bisa membuang masa lalunya, kecuali terus-menerus merawat dalam ingatannya.

Kita hanya anak-anak masa lalu, yang terlahir di hari depan, dan dibesarkan oleh kenangan.  

Hadiah  bagi kawan-kawan masa kecil,
 semoga senantiasa dimudahkan jalan hidupmu

(*) meminjam judul kumpulan cerpen  Damhuri Muhammad
Sabtu, 04 Juni 2016

Juni: Sebuah Aforisma Tentang Cinta



‘...memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga,
sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa...’
Sapardi Djoko Damono


Sebegini pagi, setetes embun  mengigil di runcing diri; hendak menetes ia ragu. ‘Barangkali masih pantas aku di sini biarpun malam sudah berlalu.’ Bisiknya, pada remah-remah daun cemara kering yang sudah berhari-hari karam di tanah. Sepulang menunaikan subuh, saya berjalan pelan-pelan melewati halaman tetangga; baru tiga hari lalu bulan juni mekar di tujuh kelopak anggrek ungu milik tetangga saya yang cinta bunga itu. Pagi ini saya lihat bunga itu sudah mekar lagi satu kelopak, yang lainnya masih sama segar seperti tiga hari lalu.     

Bosan ditekan suasana sunyi, saya menendang sebongkah kerikil dengan ujung sandal; berlari ia menyusup ke dalam rumput-rumput liar yang sudah mulai tinggi, secuil kerikil itu sudah tak tampak lagi.  

Tiba-tiba. Entah kenapa; sebuah aforisma lahir dari kepala saya. Ia seperti mencuat ingin keluar dari kepala. Memaksa saya agar membacanya. Dan entah dari mana. Milik siapa. Sebaris kata-kata muncul di depan mata saya; mengambang di udara. ‘Apakah grafitasi tidak mempan untuk menjatuhkan sebaris kata-kata?’ pikir saya. Tolol. Belum juga menyadari apa yang terjadi.
Di hadapan saya, sebaris kalimat itu bersinar; ia benar-benar minta dibaca. Begini tertulis:

‘Cinta adalah rekah bunga-bunga, gugur musim-musim.’

Maksudnya apa? Saya juga agak bingung.  Bila cinta disandingkan dengan kalimat ‘rekah bunga-bunga’, kemungkinan artinya adalah sumber kebahagiaan; keindahan, aroma, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu. lalu, bila cinta disandingkan pula dengan kalimat ‘gugur musim-musim’, saya kira, artinya tidak jauh-jauh dari kegetiran, kehilangan, kepedihan; tentu saja apabila yang dimaksud dengan gugurnya musim-musim itu adalah ranggasnya pepohonan di musim gugur. Tetapi, apabila yang dimaksud oleh kalimat ‘gugur musim-musim’ itu adalah ranggasnya musim-musim; yang tentu saja maksudnya adalah berlalunya waktu, tanggal semusim-demi semusim, kemungkinan, makna yang disampaikan kalimat itu adalah ketidakabadian cinta.  Ah, apakah benar ada cinta yang abadi? Jangan-jangan pada suatu saat nanti, cinta akan menemukan batasnya. Jangan-jangan, ketika cinta sudah mencapai batasnya, si pencinta dan yang dicintai tidak bisa lagi saling mencintai. Jadi, apakah benar ada cinta yang benar-benar abadi?

Memandangi arah timur, saya mendapati matahari tengah malu-malu; barangkali hari itu juga harapannya akan terwujud. Nyatanya, si Bulan yang dicintainya setengah mati itu sudah karam duluan di barat. Sewaktu, ia mulai ragu atas cintanya sendiri, yang ia simpan rapat—rapat dalam lembar-lembar cahayanya sendiri. tetapi kemudian, suatu ketetapan yang entah darimana asalanya mengharuskannya untuk muncul juga, mendapati sebenar-benar kenyataan; bahwa langit hanya kosong, tak ada bulan berenang di dalamnya. Kecuali sapuan awan tipis yang  sedikit keemas-emasan terpercik cahayanya sendiri.  Dan bila begini, saya pikir, tentu ia tahu harus buat apa. Ia mesti datang lagi esok pagi, mengintip malu-malu, meski harus menemui langit yang kosong lagi. Tetapi, pikirnya, cinta tetap cinta. Bulan adalah kekasihnya meski jauh dari mata.

Jadi, apakah benar ada cinta yang sebenar-benar abadi?

Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengharuskan saya tersenyum-senyum sendiri; pikiran tentang matahari itu.  Benar juga, pikir saya. Cinta yang sudah kepalang tumbuh tetap akan tumbuh sebagai cinta sekeras apapun kamu menolaknya, sejauh apapun saya gagal membuat kamu memahaminya. Ah, kini saya diselimuti perasaan yang kalut. Apakah saya akan terus mencintaimu walaupun pada akhirnya kamu tidak juga  menerima saya?

Kalau saya menjawab ‘iya’, apakah kamu percaya ada cinta yang sebenar-benar abadi?
....

Tertulis bagi KA
 
;