Dipeluk sepi Kota Marahaban dini hari, sekitar pukul 01.00 atau 02.00 WITA, saya berjalan seorang diri meninggalkan tempat acara di Kantor Bupati menuju penginapan yang jauhnya saya pikir tidak seberapa. Temu Sastrawan Tifa Nusantara 3 baru saja ditutup, selepas acara, para sastrawan dari penjuru negeri itu sedang asyik-asyiknya menaridi atas panggung utama diiringi lagu-lagu daerah Kalimantan. Saya, setelah ambil dan ikut sejenak menjadi bagian dalamkerumunanitu kini kelelahan, lalu memutuskan untuk kembalikepenginapan lebih dulu.
*
Jumat, 28 Oktober 2016, dalam rangka memenuhi undangan Temu sastrawan Tifa Nuantara 3yang dihelatdi Kota Marabahan, Kabupaten Barito, Kalimantan Selatan. Saya berangkat dan memulai petualangan ini dengan rasa syukur dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada –siapapun Anda- yang telah membiayai tiket perjalanan ini, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah berkali-kali lipat membalasnya.
Ini adalah pengalaman perdana menjejak Tanah Borneo, saya berangkat seorang diri hanya bermodal kebernanian dan tekad yang diyakin-yakin. Saya sempat tersesat di Bandara Soekarno Hatta gara-gara salah turun terminal. Akibatnya saya mesti berjalan kaki dari Terminal 1A ke Terminal 1C yang jaraknya cukup membuat sedikit kelelaha. Belum lagi, semua euforia ini membuat saya lupa makan dan baru saya sadari ketika rasa lapar itu harus saya kunyah pelan-pelan di ruang tunggu.
Setiba di Bandara Syamsudin Noor saya menghubungi panitia, lalu saya dijemput menggunakan mini bus yang berisikan peserta lain. Setelah mini bus terisi penuh kami berangkat menuju Kota Marabahan, perjalanan ditempuh selama 2 jam melewati Kota Banjarmasin. Malam pertama di Kalimantan saya begitu menikmati perjalanan ini sebelum akhirnya saya terlelap tak sadarkan diri.
Setiba di penginapan,peserta langsung digiring ke tempat acara, malam itu, acara Temu Sastrawan Tifa Nusantara 3 dibuka secara resmi oleh pejabat setempat, diikuti oleh penampilan-penampilan seperti dramatisasi puisi oleh Sanggar Sesaji Banjarmasin yang diiringi musik-musik khas Dayak yang bikin merinding. Dan yang penting, tentu saja, akhirnya saya ketemu makan malam!
Paruh pertama hari kedua diisi dengan diskusi sastra, dilanjutkan dengan makan siang, lalu, acara wisata ke Jembatan Rumpiang dan Jembatan Barito. Sepanjang perjalanan, kami ditemani oleh Putri Pariwisata Kabupaten Barito Kuala, yang bersedia menjelaskan ini-itu atau apa saja yang ditanya peserta sepanjang perjalanan.
Hari kedua, malam terakhir, acara ditutup dengan pembacaan nominasi 10 puisi terbaik yang dimuat dalam IJE JELA Antologi Puisi Tifa Nusantara 3 Marabahan dan perform pembacaan puisi oleh peserta. Alhamdulillah saya tidak masuk nominasi, Alhamdulillah saya tidak jadi tampil membacakan puisi karena telat daftar. Tiba-tiba, saya merasa perlu mensyukuri segala sesuatu.
Petualangan saya di Kalimantan diakhiri dengan insiden “hampir ketinggalan pesawat”. Semula bermula oleh agenda wisata yang tak terduga dari panitia, semula saya dan rombongan berangkat pukul 06:30 WITA dari penginapan menuju bandara. Dua jam kemudian kami tiba di Banjarmasin. Tiba-tiba bus diarahkan untuk berhenti di Pasar Terapung Kota Banjarmasin untuk berwisata. Saya dan seorang teman dari Makassar kelabakan sebab tiket kami yang akan berangkat pukul 11. Itu artinya, tersisa dua setengah jam sebelum keberangkatan. Sementara bandara masih 1 jam perjalanan lagi. Akhirnya, saya berusaha menghubungi saudara yang kebetulan tinggal di Banjarmasin. Setengah jam kemudian, ia datang, dan kami buru-buru melaju, menyusuri jalan-jalan Kota Banjarmasin.
Dalam kesempatan ini, saya mengucap syukur berkali-kali atas nikmat yang dicurahkan Tuhan hari-hari belakangan ini, betapa puisi telah membawa saya bertualang hingga sejauh ini. Saya tidak pernah menyangka, satu mimpi yang satu tulis di buku diari Januari lalu kini terwujud juga; saya ingin jalan-jalan ke Kalimantan!
Di jalan pulang, salah seorang teman mengirim pesan “betapa cepat semua ini berlalu, ya. Seperti mimpi!” Kini, setengah senyum dipeluk kain Sasirangan pemberian panitia semalam. Pelan-pelan saya menyadari, mungkin hidup kita memang terbuat dari mimpi, dari kefanaan yang benar-benar abadi.
Musim Nyamuk, November 2016