'Menguar terbawa angin, entah kemana,
berharap jatuh di alat ingatku'
berharap jatuh di alat ingatku'
––U**
Di asrama, saya dan teman-teman
tengah sibuk mengemas barang-barang. Mengeluarkan seluruh isi lemari dan membuang
segala sesuatu yang tak penting namun tanpa saya sadari telah menyimpannya
begitu lama di dalam lemari. Begini tiba-tiba, perpindahan ternyata menyebalkan;
mengemasi barang-barang, merapikannya lagi seperti semula, adaptasi pula dengan
tempat baru. Perpindahan kadang juga menyebalkan meski tak selalu mendatangkan
keburukan.
Ah, bukankah dimana-mana, manusia akan merasa
berat hati meninggalkan suatu tempat yang sudah kadung bikin suasana nyaman? Sedikit
banyaknya, saya juga merasa begitu. Entah
iya entah tidak, tapi kadang saya juga bosan menetap di suasana yang melulu ‘ini’.
Menjumpai hari-hari yang itu-itu juga, mendapati kenyataan yang lari ke
situ-situ juga. Tetiba saya kepikiran,
perpindahan semacam ini bisa jadi juga
semacam alat refleksi buat saya; untk sekadar mensyukuri hal-hal lama, ya,
kadang saya pikir, kita ini butuh suasana baru untuk sekadar mensyukuri masa
lalu.
Saya sedang membayangkan hidup orang
purba seperti yang ditulis dalam buku-buku sejarah; nomaden. Ternyata, sedikit
banyaknya kita tak jauh beda dari orang purba. Bagaimanapun, hidup kita
berpindah-pindah jua; dari satu kota ke kota lain, dari satu hari ke hari lain,
dari satu pekerjaan-ke pekerjaan lain, dari satu hati ke hati lain. Evolusi, ternyata tidak mengubah sepenuhnya;
manusia tetap purba memenuhi nafsunya.
...
Dari lemari, buku-buku saya
keluarkan; memasukkannya ke dalam tas jinjing. Kardus-kardus itu saya isi
perabot-perabot pribadi, dokumen-dokumen, dan perkakas-perkakas kecil yang
spele namun berarti, semacam gunting kuku. Dua ekor kupu-kupu kertas yang saya
buat beberapa minggu lalu dan sengaja saya tempelkan di pintuu lemari protes
kepada saya, minta dibawa juga. Ia merengek, mengibas-ngibaskan sayap kertasnya
dan bilang bahwa mereka tak mau selamanya menempel di pintu lemari itu.
‘Kamu kan yang menciptakan kami.’ Mereka
menyela ketidakingintahuan saya terhadap nasib mereka. apakah saya mesti
membawa pergi mereka juga? Kardus barang-barang saya meringis, tanda
keberatan. Tak ingin ditambah beban lagi. Baiklah, mengapa tak saya biarkan dua ekor kupu-kupu
kertas itu terbang bebas saja? hinggap di bunga-bunga, berenang di udara? ah,
seandainya hidup mereka nyata!
Kini saya menatap si kardus. Sungguh
malang nasibmu, kasihan juga saya melihatmu diisi beban seperti itu. Saat
itu juga saya menyadari betapa pentingya kardus. Saat pindah rumah macam ini
keberadaannya memang sangat dibutuhkan, selebihnya ia hanya penghuni gudang
yang setia; diisi barang-barang lama, berteman dengan bau pesing kecoa. Ah,
yang kita tahu, kardus hanya mampu menyimpan debu dan masa lalu.
...
Saya pikir lagi, apakah saya mesti
menyimpan namamu, matamu, dan segala ingatan tentangmu di dalam kardus?;
membiarkanmu rapuh dimakan waktu, berdebu, dan tertinggal jauh di masa lalu?