Rabu, 01 Juni 2016

Kecoa, dan Kematian yang Sexy



Siang atau malam, saya kerap kali menjumpai kecoa sedang sembunyi malu-malu di antara ember pakaian, atau di bawah wastafel, atau di dekat tong sampah, dan sering pula di kamar mandi. Keberadaanya bahkan sering kali tak terduga. Saya sendiri, tidak takut setengah mati dengan makhluk satu itu, hanya saja agak geli memang, menjumpainya ada dimana-mana. Saya pernah pula menjumpainya balik tempat penggorengan. Oh well, sepertinya keberadaanmu tak bisa dibiarkan lama-lama, saya tidak bisa membiarkanmu mengganggu kesejahteraan hidup umat manusia.

Saya tidak tahu apa sebabnya, semakin lama populasi kecoa di asrama kami ini semakin bertambah-tambah saja. Entah pula karena bangunan asrama – yang lebih mirip kost – ini memang sudah lama tidak ditinggali manusia, atau memang karena perangai kami yang tidak mencerminkan hidup bersih sama sekali. Ah, apakah mungkin juga bangsa kecoa itu  tersinggung, lantaran sering  mendengar kelakar kami? ; ‘puasa-puasa macam ini, lihat kecoa berjalan di lantai macam lihat sebiji kurma.’  

Apapun, yang jelas saya tidak terima jika keberadaanya sudah mengganggu kesejahteraan hidup umat manusia. Hah!

Segalanya berawal ketika suatu malam, seekor kecoa terang-terangan melintas di hadapan saya. Saya yang tak tahan dengan perilaku arogan macam itu segera menyerangnya sampai ia terjungkal dan badannya terbalik; kini ia tak berdaya dan kakinya hanya bisa menendang-nendang ke langit. Seorang teman kemudian mengusulkan untuk memandikannya dengan karbol. Maksud saya, teman saya ini menyarankan saya untuk melumuri tubuhnya dengan karbol yang dikemas di botol warna hijau itu. Saya pun mengikuti saran itu, saya tetesi pelan-pelan ke badan makhluk itu, dan... kemudian ia kejang-kejang, menjemput sekaratul maut.






Saya tidak tahu, benar atau tidak, setelah sekian banyak pembunuhan terhadap sekawanan makhluk itu, sepertinya pihak mereka mencoba membalas dendam. Suatu malam, teman saya tergegap dan bangun dari tidurnya dengan perasaan dongkol setengah mati lantaran seekor kecoa merayapi wajahnya. Oh, ini sunggu tidak fair sekali. Kenapa pula mesti balas dendam dan menyerang lawan dalam kondisi tidur? 

/kalian manusia, bukankah lebiih tidak fair lagi, membasmi kami dengan menggunakan karbol sialan yang baunya menjijikan macam itu, Hah!!?/

Perlawanan terhadap kecoa di asrama ini semakin lama semakin gencar saja. Dalam satu malam, akhir-akhir ini saya bisa membunuh 2-3 ekor kecoa! Perburuan kecoa yang saya lakukan ini lama-kelamaan juga diikuti oleh teman-teman saya, sehingga, jadilah berburu kecoa sebagai agenda rutin untuk mengusir jemu di asrama kami. 

Ini melaggar HAM sebetulnya, merampas hak hidup kecoa adalah sebuah kejahatan. Tapi, ah, apakah HAM yang disembah-sembah manusia itu juga berlaku kepada kecoa? Bukankah di mana-mana manusia memang begitu? Manusia selalu merampas kehidupan makhluk lain hanya untuk menegakkan hidupnya sendiri; lalu berhaha-hihi menertawakan yang lainnya setelah merampas haknya. Lantas, apakah pembantaian yang kami lakukan terhadap spesies hewan yang katanya hewan purba itu dapat pula disebut Genocida?

Lelah mencari-cari jawaban dari pertanyaan itu, saya memutuskan untuk berhenti sejenak, menikmati kematian seekor kecoa yang sexy dengan sebotol karbol wangi sedia di tangan saya; membubuhinya setetes demi setetes ke badan makhluk itu. Saya lihat kaki hewan itu memancal-mancal ke udara, menggapai-gapai langit, menggapai harapan yang sudah menguap bersama harum karbol yang lekat ditubuhnya:

Manusia sialan!!!

Ah, manusia memang seringkali lupa, bahwa setiap kematian hewan-hewan itu tidak akan terjadi tanpa efek begitu saja, barangkali setelah ini, akan datang seribu ekor kecoa lagi, barangkali setelah ini, giliran bangsa kecoa itu yang menikmati sexy-nya kematian manusia, sambil pelan-pelan mengucurkan cairan karbol ke tubuh kita. O, Tuhan... ampuni dosa-dosa saya.
 
;