Siang atau malam, saya kerap kali
menjumpai kecoa sedang sembunyi malu-malu di antara ember pakaian, atau di
bawah wastafel, atau di dekat tong sampah, dan sering pula di kamar
mandi. Keberadaanya bahkan sering kali tak terduga. Saya sendiri, tidak takut
setengah mati dengan makhluk satu itu, hanya saja agak geli memang,
menjumpainya ada dimana-mana. Saya pernah pula menjumpainya balik tempat
penggorengan. Oh well, sepertinya keberadaanmu tak bisa dibiarkan lama-lama,
saya tidak bisa membiarkanmu mengganggu kesejahteraan hidup umat manusia.
Saya tidak tahu apa sebabnya, semakin
lama populasi kecoa di asrama kami ini semakin bertambah-tambah saja. Entah pula
karena bangunan asrama – yang lebih mirip kost – ini memang sudah lama tidak
ditinggali manusia, atau memang karena perangai kami yang tidak mencerminkan
hidup bersih sama sekali. Ah, apakah mungkin juga bangsa kecoa itu tersinggung, lantaran sering mendengar kelakar kami? ; ‘puasa-puasa
macam ini, lihat kecoa berjalan di lantai macam lihat sebiji kurma.’
Apapun, yang jelas saya tidak terima
jika keberadaanya sudah mengganggu kesejahteraan hidup umat manusia. Hah!
Segalanya berawal ketika suatu
malam, seekor kecoa terang-terangan melintas di hadapan saya. Saya yang tak
tahan dengan perilaku arogan macam itu segera menyerangnya sampai ia terjungkal
dan badannya terbalik; kini ia tak berdaya dan kakinya hanya bisa menendang-nendang
ke langit. Seorang teman kemudian mengusulkan untuk memandikannya dengan
karbol. Maksud saya, teman saya ini menyarankan saya untuk melumuri tubuhnya
dengan karbol yang dikemas di botol warna hijau itu. Saya pun mengikuti saran
itu, saya tetesi pelan-pelan ke badan makhluk itu, dan... kemudian ia
kejang-kejang, menjemput sekaratul maut.
Saya tidak tahu, benar atau tidak,
setelah sekian banyak pembunuhan terhadap sekawanan makhluk itu, sepertinya
pihak mereka mencoba membalas dendam. Suatu malam, teman saya tergegap dan
bangun dari tidurnya dengan perasaan dongkol setengah mati lantaran seekor
kecoa merayapi wajahnya. Oh, ini sunggu tidak fair sekali. Kenapa pula
mesti balas dendam dan menyerang lawan dalam kondisi tidur?
/kalian manusia, bukankah lebiih
tidak fair lagi, membasmi kami dengan menggunakan karbol sialan yang baunya
menjijikan macam itu, Hah!!?/
Perlawanan terhadap kecoa di asrama
ini semakin lama semakin gencar saja. Dalam satu malam, akhir-akhir ini saya
bisa membunuh 2-3 ekor kecoa! Perburuan kecoa yang saya lakukan ini
lama-kelamaan juga diikuti oleh teman-teman saya, sehingga, jadilah berburu
kecoa sebagai agenda rutin untuk mengusir jemu di asrama kami.
Ini melaggar HAM sebetulnya,
merampas hak hidup kecoa adalah sebuah kejahatan. Tapi, ah, apakah HAM yang
disembah-sembah manusia itu juga berlaku kepada kecoa? Bukankah di mana-mana manusia
memang begitu? Manusia selalu merampas kehidupan makhluk lain hanya untuk
menegakkan hidupnya sendiri; lalu berhaha-hihi menertawakan yang lainnya
setelah merampas haknya. Lantas, apakah pembantaian yang kami lakukan terhadap
spesies hewan yang katanya hewan purba itu dapat pula disebut Genocida?
Lelah mencari-cari jawaban dari
pertanyaan itu, saya memutuskan untuk berhenti sejenak, menikmati kematian
seekor kecoa yang sexy dengan sebotol karbol wangi sedia di tangan saya;
membubuhinya setetes demi setetes ke badan makhluk itu. Saya lihat kaki hewan
itu memancal-mancal ke udara, menggapai-gapai langit, menggapai harapan yang
sudah menguap bersama harum karbol yang lekat ditubuhnya:
‘Manusia sialan!!!’
Ah, manusia memang seringkali lupa,
bahwa setiap kematian hewan-hewan itu tidak akan terjadi tanpa efek begitu
saja, barangkali setelah ini, akan datang seribu ekor kecoa lagi, barangkali
setelah ini, giliran bangsa kecoa itu yang menikmati sexy-nya kematian
manusia, sambil pelan-pelan mengucurkan cairan karbol ke tubuh kita. O,
Tuhan... ampuni dosa-dosa saya.