Selasa, 31 Mei 2016

Saya dan Harry Potter



Di hadapan kotak nasi ini, tiba-tiba saya teringat film Harry Potter, dan sesaat terlintas di kepala saya bahwa sebenarnya, saya dan Harry Potter benar-benar punya kemiripan. Oh, tentu kemiripan yang saya maksud bukan soal ketampanan. Maksud saya, kami berdua (saya dan Harry) sama-sama tinggal di asrama. Bedanya, tentu saya tidak pakai jubah hitam dan tongkat sihir ala penyihir, dan tentu saja, dalam film itu tidak ada bagian yang menceritakan saat-saat Harry sedang bosan dengan menu makanan. Ya, tentu saja tidak akan ada adegan remeh temeh macam itu. Dan lagi, bukankah tidak ada pula tokoh yang berperan menjadi juru masak? Ya, semua makanan dihidangkan dengan sihir. Dengan sekali ketukan tongkat saja semua menu  akan terhidang, mulai dari ayam, daging sapi, buah-buahan (tempe dan tahu, barangkali ?).  Bodohnya, saya malah ikut-ikutan berimajinasi punya sihir yang mampu menghidangkan rupa-rupa makanan macam itu.

Selama menjalani hidup di asrama, satu diantara banyak masalah yang menimpa saya adalah saya tidak tahan dengan sesuatu yang itu-itu saja! manusia, kau tahu, tidak ada yang tahan diikat hal-hal yang ‘itu’ juga. Sesekali, kita mesti mendapat suatu yang baru. Dan diantara banyak perkara  yang ‘itu-itu’ juga adalah makanan. Selain tiga kali jatah makan dalam sehari, tinnggal di asrama membuat saya memahami dan hapal jadwal menu makan (atau paling tidak bisalah menerka hari ini menu apa) dalam satu minggu. Ya, semua orang tahu, ‘kita tidak bisa berlaku seturut kita suka’, tinggal di asrama ini, saya memahami benar poin itu; saya tidak bsia bebas menentukan hari ini makan apa, sebab kerja saya tinggal makan saja. saya paham itu.

Yang bikin belakangan ini lambung saya keriting adalah menu ikan laut; saya bisa dibuatnya tidak makan sama sekali! Oh bukan, bukan saya tidak doyan makan ikan, bukan saya alergi atau apa. ‘Mengapa saya mesti ketemu kamu lagi?’ protes lambung saya kalau menemui ikan laut di kotak nasi. Mengapa begitu? Bukan lagi karena ikan laut itu bisa nongol di kotak nasi seminggu 3 kali, tetapi, sehari dua kali! Maksud saya, siang ikan, malam hari ikan lagi. Saya bahkan sempat menduga-duga bahwa di belakang rumah ibu catering ini ada laut yang luas dan banyak ikannya. Ah, gila apa! Jadilah saya hanya ndomblong menarik lagi air liur yang kelaparan.

Keseringan begini, lama-lama saya jadi mikir juga; betapa saya sudah mencaci maki Tuhan. Maksud saya, bila bercermin pada kata-kata Sujiwo Tejo; ‘Takut besok tidak makan saja sudah Anda menghina Tuhan’. Bukankah saya lebih parah dari pada itu? tidak mau makan rezeki yang diberiTuhan hari ini, bukan lagi takut besok tidak bisa makan? 
Tiba-tiba saya teringat oleh salah satu catatan Prie GS;  suatu kalii ketika istrinya memasak lauk yang tidak enak. Sebenarnya bisa saja ia bilang pada istrinya waktu itu ‘Masakannya tidak enak’. Tapi bukannya biilang begitu, malah dibayangkannya ia sedang hidup di pengungsian. Jadilah makanan itu ditelannya sampai tandas.

Sedikit banyaknya, saya menyesal juga sudah memperlakukan ikan-ikan yang saya temui di kotak nasi itu tidak sebagaimana mestinya. Mungkin saya mesti sering-sering membayangkan hidup di sebuah pengungsian, atau di tengah hutan, atau di padang pasir yang jangankan ikan, airnya saja sulit dicari. Khayalan soal meja makan di film Harry Potter tiba-tiba menguap begitu saja;  Oh, well, asrama ini memang bukan  Hogwarts!
 
;