Suara di dalam telepon putus-putus,
hari panas cuaca, percakapan yang datar, dan teman-teman sesama penghuni asrama
yang ributnya kurang ajar. Aku harus marah kepada siapa?Keringat dibakar udara,
keluar dari pori-pori tanpa permisi, badanku sedang lelah setengah mati. Aku harus
jengkel kepada siapa?
Dengan rasa terpaksa, mesti kuakhiri
telepon dan terbaring benci di atas kasur; mencari tempat paling sunyi di dalam
diri. Mengapakah aku mesti hidup di tengah orang ramai begini? Aristoteles
mungkin benar, manusia adalah makhhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup
sendiri, dan apakah mesti di tempat ramai begini?
Sedang memikirkan persoalan ini,
udara semakin panas saja, ruangan bertambah-tambah sempit rasanya. Berpikir
begini, sebenarnya manakah yang sempit; ruangan atau pikiranku sendiri? Ah,
bikin tambah rumit saja, sementara keringat belum juga reda.
Sekali-kali dalam hidup, manusia
mungkin sengaja ditempatkan Tuhan pada kondisi begini. Sekali waktu, mungkin
kita perlu merasakan hal semacam ini; saat butuh sunyi, tapi diberi keramaian
yang berlebih-lebih. Ah, mungkin sebenarnya, maksud Tuhan sederhana saja;
manusia mesti belajar mengendalikan emosi, mesti tahu kepada siapa marah;
terlebih-lebih kepada diri sendiri.
*ditranskrip dari catatan harian,
tertanggal 15 Mei 2016