Jumat, 03 Agustus 2018

JAKARTA

       Waktu kamu membaca ini, mula-mula saya memintamu agar membayangkan sedang duduk di kursi ini dengan perasaan agak menyesal ( tapi ya bagaimana ya..) karena saat memesan tiket, ketidaktelitian membuatmu lupa memilih tempat duduk favoritmu saat  melakukan perjalanan, di samping jendela, misalnya.

       Seterusnya, kamu boleh membayangkan jadi apa saja; jadi bapak-bapak yang duduk di sebelahku, yang sebenarnya dengan baik hati mempersilakanku duduk di samping jendela tapi karena rasa sungkan dengan halus aku terpaksa menolaknya, atau jadi ibu-ibu pebisnis yang kukenal dari sedikit percakapan kami saat mula-mula duduk di bangku ini, atau jadi wirausahawan KAI yang menjajakan kopi dan popmie (yang sebenarnya lebih mirip mahasiswa danusan). Ya, setelah ini kamu boleh membayangkan jadi apa saja, tapi mula-mula, bolehkah aku memintamu untuk sebentar membayangkan rasa kecewa melewatkan kesempatan menikmati pemandangan alam ini?

Terimakasih.

       Sebenarnya lebih dari itu, Pembaca.  Tiga hari lalu saya berangkat ke Jakarta dengan perasaan benci yang tidak karuan. Saya sedang ada masalah dengan adik saya, plus perasaan malu bercampur jengkel kepada bapak kos teman saya yang memberikan saya tumpangan di Jogja sebelum kemudian mengusir saya. Terus terang, kalau tidak karena ibu saya yang meminta saya dengan sangat halus untuk tetap pergi ke Jakarta mempersiapkan semua kebutuhan adik saya yang baru saja lolos seleksi sebuah kampus ikatan dinas, saya tidak akan berangkat ke kota itu, Pembaca. Hanya bakti pada orang tualah yang menggerakkan saya untuk tidak membatalkan tiket dan berangkat dengan  kondisi demikian adanya.

       Pembaca, saya sudah diterkam rasa sungkan sejak hari pertama ada di Jakarta. Ya, saya musti menginap di kost perempuan. Sebenarnya sih biasa saja, toh saya ada disana bersama ayah, ibu, dan adik saya. Tapi perasaan itu makin kuat mencengkram leher saya saat saya dengar kabar bahwa penghuninya akan datang esok. habislah saya..

       Hari pertama, saya nyaris tak bisa tidur. Udara pengap sekali, seolah tak ada jalan sekadar buat angin lewat. Pula, saya agak prihatin melihat orang-orang yang tinggal di sekitar sini. Bagaimana mereka bisa benar benar hidup nyaman dan bahagia di tempat sesempit dan sepanas ini? Saya tidak sedang mencari jawaban. Terus terang, saya hanya ingin bilang, saya tidak kerasan.

        Begitulah, muasal segala ketidaktelitian ini. Keinginan untuk lekas pergi dari Jakarta berimbas pada penyesalan saya di bangku ini. Untungnya, saya tidak lagi diliputi rasa benci, jutru keharuan yang kalau tidak ditahan bisa merembes dari pelupuk mata, lebih-lebih saat membaca sebuah pesan yang masuk dari ibu saya, "Makasih ya, udah mau nemenin ibu.."

Saya pejamkan mata, dan berharap ingin segera sampai ke kost selekas-lekasnya.

Jakarta-Solo, 2018
Sabtu, 17 Maret 2018

Hari Minggu dan Lagu-lagu


saya bangun ketika pagi masih menyisakan petang dan remang-remang. Bibit cahaya muncul dari timur, dan kehidupan menumbuhkannya jadi cahaya paling terang. Hari minggu, pikir saya, alangkah baik untuk bermalas-malasan dan seharian rebah di tempat tidur.  Dua jam saya menikmatinya, sampai sekira pukul setengah delapan perut mulai terasa lapar dan saya memutuskan untuk mempersiapkan sarapan; memasak nasi dan membeli lauk. Sambil makan, saya putar lagu-lagu Dialog Dini Hari dari ponsel, dan menikmatinya seperti menikmati sarapan yang tak kalah nikmat.  Adakah yang lebih indah dari semua ini?”

Kamis, 01 Februari 2018

Rumah

Ini tahun ke tujuh saya pergi dari rumah, dari kehangatan yang telampau nyaman. Dan ini, tahun ke tujuh pula saya jadi orang asing tidap kali pulang ke rumah sendiri, tiap kali kembali ke kehangatan yang terlampau nyaman itu. Dulu, usia saya masih 12/13 ketika pertama kali pergi dari rumah, berangkat ke kota lain yang tak menyediakan sanak saudara. Ya, sejak itu, saya belajar menjadikan siapa saja yang saya temui sebagai saudara. Begini memang, nasib perantau. Saya tidak tahu, akhir dari perjalanan ini mungkin adalah rasa kengen paling premium terhadap kehangatan, terhadap rumah yang telah membesarkan saya. Entahlah, mungkin justru membuat saya –alih-alih makin rindu –  semakin lupa kepada rumah.

Saya tidak mengkhawatirkan apapun, bahkan kelak jika harus hidup di tempat lain yang jauh dari rumah. Yang jelas, kemanapun saya pergi, rumah ini akan selalu saya bawa dalam hati juga ingatan. Yang jelas, kemana pun saya pergi, saya tetap punya rumah untuk kembali.  Tetapi makin kesini, belakangan saya jadi berpikir, mungkin rumah saya adalah dimana saja, kota-kota, desa-desa, dimanapun saya berada dan hangat di dalamnya, di situlah rumah yang sebenarnya. 
 
;