Selasa, 26 Oktober 2021

Anjing

Orang bisa benci pada sesuatu karena tidak tahu, atau tidak punya informasi banyak tentang sesuatu yang ia benci.  kamu percaya? sekarang lagi rame soal anjing, karena sekumpulan oknum berseragam menyiksa anjing sampai mati dengan mengatasnamakan wisata halal. 

Saya jadi ingat, jaman saya kecil dulu banyak anjing liar di daerah saya. Jaman dulu, belum banyak jalan aspal di daerah saya, sehingga jejak kaki anjing itu sering kali ditemui di jalanan. Suatu hari saya melintas di jalan dan melihat jejak kaki anjing, tanpa sengaja saya menginjak jejaknya dan mulai khawatir karena terkena najis. Informasi yang saya terima sejak kecil, anjing itu ya najis. Yang saya tahu, anjing memang najis. 

Sampai di rumah saya lapor ke ibu, saya habis menginjak jejak kaki anjing. Saya bertanya apakah kaki saya harus saya cuci karena menginjak telapak anjing, ibu saya bilang; yang najis itu liurnya, bukan jejak kakinya. 

Saya sampai sebegitu ngerinya dan ingin mencuci kaki setelah menginjak jejak kaki anjing, karena saya nggak punya informasi banyak soal anjing. Saya nggak tahu kalau yang najis itu cuma liurnya.  Saya nggak paham apa-apa soal anjing sehingga saya secara naluriah mencari jalan yang aman; mencuci kaki setelah menginjak jejak kaki anjing. 

Manusia cenderung begitu kan? manusia sebenarnya secara naluriah menghindari apa yang mereka takuti, apa yang mereka tidak tahu dan berpotensi menimbulkan ancaman. Makanya, ketika anjing sedang ramai di bicarakan karena ada oknum yang menyiksa anjing sampai mati, saya berpikir mungking oknum-oknum pelaku pembunuhan anjing itu memandang anjing sebagai ancaman, atau justru tidak punya banyak informasi soal anjing selain anjing itu najis. 

Minggu, 24 Oktober 2021

Salah Paham

Dua orang tokoh besar dunia digital marketing sedang berseteru. Dalam hal apapun, perseteruan itu sebenarnya hal yang biasa. Orang biasa berseteru karena salah paham, tersinggung, atau bahkan merasa dirugikan. Itu hal yang sangat-sangat biasa.

Saya pernah menyaksikan dua guru saya (guru A dan guru B) berseteru. Uang adalah titik terlemah manusia, makanya banyak perseteruan berangkat dari uang, bisnis, dan sebagainya. Begitulah, mula-mula saya ikut hanyut ke dalam putaran perseteruan mereka; saya mulai memihak guru A karena memandang persoalan ini dari sudut pandang guru A. 

Sampai pada suatu hari, saya punya kesempatan untuk melihat perseteruan tersebut dari sudut pandang yang lain; dari  sudut pandang guru B. Sejak saat itu, saya mulai bisa melihat perseteruan itu dari dua sudut pandang, hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak memihak siapapun. Lagi pula, siapa saya? Berseteru atau tidak, dua-duanya tetaplah guru saya, sampai kapanpun. 

Mungkin ya, perseteruan dua tokoh besar digital marketing ini cuma karena salah paham. Tapi ya memang salah paham adalah masalah terbesar manusia. Andai kita bisa melihat isi hati dan perasaan orang lain, dunia tidak akan hancur karena salah paham. 

Sabtu, 23 Oktober 2021

Kupon

Saya pernah membuat televisi rumah menjadi rusak. Pas kecil dulu saya kepoan, ada lubang di bagian belakang televisi tabung 14 inch itu yang ditutup sticker. Saya melubangi sticker itu dengan telunjuk saya. Setelah itu televisinya rusak; ayah murka, saya dimarahi habis-habisan. 

Suatu hari saya dan adik saya ikut jalan santai di lapangan desa. Namanya jalan santai, pasti ada macam-macam hadiah yang bisa kita dapatkan lewat undian kupon, mulai dari televisi hingga sepeda motor. 

Entah karena alasan apa (mungkin pesimis dan merasa nggak mungkin dapat), akhirnya saya memutuskan pulang duluan dan membuang kupon saya. Pas acara selesai dan adik saya pulang ke rumah, ia nangis tersedu-sedu, katanya nama saya dipanggil pas undian dijalankan untuk mendapatkan pemenang hadiah televisi. Adik saya menangis karena yang dipanggil nama saya, yang maju orang lain. 

...

Peristiwa itu mungkin sudah terjadi belasan tahun yang lalu. Sekarang, saya punya usaha agen ekpedisi. Bulan lalu perusahaan ekspedisi tersebut menyelenggarakan dua lomba untuk memperingati hari jadi perusahaan. Saya juga nggak menyangka akan memenangkan kedua lomba tersebut, hadiah nya televisi 40 inch untuk juara satu.  Saya nggak nyangka dapat dua televisi ukuran segitu sekaligus. Saya nggak nyangka ibu akan bilang begini di Whatsapp: itu sebagai ganti kuponmu yang hilang belasan tahun lalu.

Ternyata omongan teman saya ada benarnya; apa-apa yang sudah jadi milik kita, nggak akan pernah tertukar.

Jumat, 22 Oktober 2021

Boba

Ada teman kuliah bikin status di WhatsApp, isinya menu-menu boba jualannya di aplikasi Gofood. mata saya tertuju pada satu deskripsi yang bikin ngekek: 

saat jatuh cinta, ungkapkanlah dengan Boba

Edan, kata saya. Kalau setiap merasa jatuh cinta, seseorang membelikan boba buat pacarnya, kira-kira sudah berapa berat badannya sekarang? hehehe.

Sebenernya saya mau cerita soal berat badan. Terakhir kali menimbang, berat badan saya 86,6xx Kg. Sebelum itu seingat saya malah menyentuh angka 90 an Kg. Entah sejak kapan, tapi kata orang berat badan menggambarkan kemakmuran hidup seseorang. 

Empat tahun lalu saya jadi mahasiswa, saya lulusan sebuah sekolah swasta di Bogor yang semua siswanya tinggal di asrama -- yang lauk nya bergizi hanya jika makan siang bareng guru-guru di sekolah. Makanya, keluar dari sana, bobot saya mungkin nggak sampai 60 Kg. Masa awal-awal kuliah itu, saking kurusnya, pipi saya sampai bisa dibilang kempot, blas nggak ada dagingnya. 

Semua berubah sejak dua hal: pertama, sejak saya pulih dari tipes. Selama kuliah saya dirawat 3 kali karena tipes, yang terakhir dapat bonus tambahan; liver.  Sejak sakit tipes itulah saya merasakan bobot saya pelan-pelan mulai naik. Kedua, sejak saya bisa mencari uang dan mengajak kamu mencoba banyak makanan enak.  

Sekarang saya sudah sebesar ini. Sempat beberapa kali meniatkan diri untuk ikut teman ke gym, tapi selalu kandas.  Sementara saya cuma bisa membatasi makanan saja. Saya sarapan dengan makanan-makanan yang ringan, buah atau meal replacement. Saya juga mengurangi konsumsi gula dan nasi. Sudah sebulan ini mungkin, dan saya merasa tubuh sudah mulai ringan. 

yang penting hepi kan?

Kamis, 21 Oktober 2021

Takut

1/ 

Saya takut semua berjalan tidak sesuai rencana. Waktu mempersiapkan segalanya, mulai dari gambar, halaman penawaran, dan semua strategi yang saya kira matang dan terencana, kadang saya merasa yakin betul-betul kalau kampanye iklan ini akan bagus hasilnya. Tapi hasil di akhir sering juga berbeda. 

2/ 

Saya takut apa yang sudah saya mulai berakhir dan runtuh begitu saja. Punya usaha dengan 20-an orang menggantungkan hidup di dalamnya sangat tidak mudah. Terus terang, saya sudah tidak lagi mengejar nominal. Saya cuma pingin semua bahagia dan bisa tumbuh bersama. Karenanya, saya takut tkalau iba-tiba usaha ini runtuh, saya takut banyak orang akan kehilangan pekerjaan. 

3/

dan yang paling besar; saya takut kamu bertemu dengan yang lebih nyaman. 

Rutinitas Pagi

Tak masalah jika harus sedikit berkeringat setelah mandi pagi, saya membersihkan kantor dari debu dan rontokan rambut teman-teman. Begini hingga seterusnya, saya akan duduk paling awal di ruangan kantor, membiarkan kipas menyala, dan lagu-lagi favorit mengalun di Airpods saya. 

Memulai hari tak harus dengan yang berat, yang penting hepii...

Haru

No sadness may cross this threshold - Pablo Neruda

Bipolar, kata dokter. Pasti sangat terpukul saat pertama kali kamu mendengarnya, begitu juga saya. Setelah kita tahu soal diagnosa itu, hari-hari jadi tambah berat ya? kamu mengeluh soal cemas yang tak terkendali, mood yang naik turun, rasa marah yang tak jelas dari mana asalnya, minder, tak percaya diri, dan tangisan-tangisan yang kamu, saya, dan semesta tidak pernah tahu kesedihan macam apa penyebabnya.

Ingat waktu pertama kali saya mengantar kamu ke psikiater? berbekal kertas berisi resep obat, pulangnya kita mampir ke sebuah apotek. Malam itu, saya tahu kamu hancur mendengar nominal biaya obat yang segitu besarnya. 

Sejak saat itu, saya melihat kamu bertahan hidup melewati satu kecemasan ke kecemasan yang lain. Yang paling membuat saya sedih adalah, saya nggak bisa bantu banyak. Saya cuma bisa kasih satu sisi bahu saat kamu menangis tiba-tiba di hadapan penjual pancong balap, suatu malam sebelum nonton teater. Saya cuma bisa bantu kamu meyakinkan diri bahwa dorongan misterius untuk menonjok muka dosen kita atas sebab yang kamu tak tahu dari mana asalnya, bukanlah kamu yang sebenarnya. Saya cuma bisa bantu meyakinkan mamamu saat kamu dilarang minum obat, dan hal-hal kecil yang mudah-mudahan berarti banyak.

Hal-hal itu juga bikin saya sering khawatir, mungkin sekhawatir saat kamu dulu bertanya, percaya nggak kalau mental disorder bisa menurun ke anak?, dan seandainya pertanyaan itu kamu ulangi lagi hari ini, mungkin saya akan jawab tidak percaya, karena yang saya percaya cuma satu: kita berdua akan kuat menghadapinya.

Ya begitu deh, sampai saya dan kamu pada akhirnya wisuda dan lulus dari Sastra Indonesia. Sampai kabar gembira itu saya dengar beberapa hari lalu; kamu dipanggil wawancara untuk posisi editorial assistant di sebuah penerbit terbesar di negeri ini. Waktu baca kabar itu dari WA mu, terus terang sebenarnya saya terharu. 

Tulisan ini cuma bentuk lain dari rasa haru itu, apalagi pas hari ini tak sengaja menemukan tulisan lama mu. Saya cuma pingin bilang, kalau suatu hari nanti kamu bertemu masa-masa sulit, cepat bangkit dan jangan pernah sesedih metafora di puisi Pablo Neruda; kumbang dengan seluruh kaki patah, mangsa terbungkus sarang laba-laba.




 
;