Selasa, 03 Mei 2016

(Bayangan) Saya



Menatap cermin itu, saya jadi berpikir; bagaimana jadinya bila suatu hari, saya dan saudara –  bayangan – saya harus berpisah dikarenakan oleh suatu hal. Misalnya, saya dan saudara saya itu sudah tak lagi saling percaya, atau misalnya lagi, jika saya dan saudara saya itu merasa sudah terlalu lama hidup bersama-sama dan memutuskan untuk hidup di jalan masing-masing.

Di dalam cermin itu, saya bayangkan ia berkata “Saudara, sudah waktunya kita berpisah. Tak bisa kita terus-terus hidup begini, tak bisa saya terus-terusan mengetahui privasimu, tak bisa dirimu terus-terusan mengintip privasi saya. Kita berhak untuk hidup di jalan masing-masing! ” Dengan berurai air mata, ia pergi meninggalkan saya seorang diri di depan cermin itu. 

Sementara saya ditingggalkan seorang diri, tiba-tiba saya merasa dibebani oleh pertanyaan-pertanaan. Satu sisi hati saya bilang “Mengapa tidak? Bukankah kami sudah dewasa dan berhak menentukan jalan masing-masing?” sisi yang lain keberatan, memprotes pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Sementara itu, kepala saya punya masalah sendiri; ia bingung menentukan suara mana yang mesti didengar, sebab keduanya bersumber dari hati.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila suatu hari, saya dan saudara saya yang baru saja pergi meninggalkan saya itu  berpapasan di jalan, bagaimana ia akan menyapa saya? atau bagaimana saya akan menyapanya? Atau haruskah saya melanjutkan saja langkah saya dan berpura-pura tidak saling kenal? Masalahnya adalah, bagaimana jadinya jika pada saat itu, ada teman atau kolega saya yang menyaksikan perjumpaan antara dua orang yang memiliki wajah yang sama persis itu? di antara kami berdua, manakah yang akan dikenalinya sebagai saya? 

Saya membayangkan situasi demikian menjadi tmbah rumit ketika saudara saya itu bilang bahwa saya adalah bayangannya. Tentu saja saya tidak akan terima, justru dialah yang menjadi bayangan saya dan memutuskan untuk pergi meninggalkan saya seorang diri di depan cermin waktu itu. 

Bagaimanapun, saya khawatir jika sampai terjadi hal yang demikian. terlebih lagi, jika saudara saya itu sampai berbuat onar dan mengantongi identitas saya. Bukan saya tak percaya padanya, tapi bukankah ia sendiri juga tak percaya pada saya? Kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi.

Kalau memang sudah demikian bulat keputusan saudara saya itu, tak mungkinlah rasanya saya memaksanya kembali dan mendampingi tubuh saya. Saya sudah tak bisa mencegah lagi keputusannya. Dan barangkali, dalam hal ini saya mesti mengalah dan membiarkannya hidup sebagai saya. Dan sebagai konsekuensi dari keputusan saya ini, saya mesti menyingkir dari kehidupan ini. berlama-lama di tempat ini, saya takut akan muncul lagi hal-hal lain yang tidak pernah saya inginkan. Misalnya, dianggap orang-orang sebagai nabi sebab saya tidak punya bayangan. Kemudian mereka beriman, dan percaya sesungguh-sungguhnya bahwa saya ini seorang nabi. Lantas apa yang akan saya katakan? Tidak ada yang menurunkan wahyu kepada saya.  

Saya pikir ada baiknya menjadi ronin  dan mengembara dari suatu tempat ke tempat lain. Akan ada banyak pelajaran yang saya dapat. Dan bila sudah tiba masanya, saya mungkin akan menghabiskan masa tua dengan menyendiri du gunung-gunung, menemukan pencerahan, sambil sesekali melakukan upacara minum teh.

Masih berdiri di depan cermin, tiba-tiba saya tersadar dan mengerti apa yang harus segera saya lakukan. Saya bergegas ke kamar dan mengemasi barang-barang. Lalu pergi sejauh saya bisa. Kepada ssaudara saya itu, saya tinggalkan saja pesan di secarik kertas;

Bagaimanapun, kamu adalah saudara saya. Saya memilih memberikan kesempatan bagimu buat merasakan bagaimana lelahnya hidup.  Selamaa saya pergi mengunjungi  tempat-tempat yang jauh, gantikanlah pekerjaan-pekerjaan saya, sampai waktu yang tak berbilang, saya tak akan lupa untukk sesekali mengunjungimu...
Tubuhmu


 
;