Menatap
cermin itu, saya jadi berpikir; bagaimana jadinya bila suatu hari, saya dan
saudara – bayangan – saya harus berpisah
dikarenakan oleh suatu hal. Misalnya, saya dan saudara saya itu sudah tak lagi saling
percaya, atau misalnya lagi, jika saya dan saudara saya itu merasa sudah
terlalu lama hidup bersama-sama dan memutuskan untuk hidup di jalan
masing-masing.
Di dalam
cermin itu, saya bayangkan ia berkata “Saudara, sudah waktunya kita berpisah.
Tak bisa kita terus-terus hidup begini, tak bisa saya terus-terusan mengetahui
privasimu, tak bisa dirimu terus-terusan mengintip privasi saya. Kita berhak
untuk hidup di jalan masing-masing! ” Dengan berurai air mata, ia pergi
meninggalkan saya seorang diri di depan cermin itu.
Sementara
saya ditingggalkan seorang diri, tiba-tiba saya merasa dibebani oleh
pertanyaan-pertanaan. Satu sisi hati saya bilang “Mengapa tidak? Bukankah kami
sudah dewasa dan berhak menentukan jalan masing-masing?” sisi yang lain
keberatan, memprotes pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Sementara itu, kepala
saya punya masalah sendiri; ia bingung menentukan suara mana yang mesti
didengar, sebab keduanya bersumber dari hati.
Saya
tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila suatu hari, saya dan saudara
saya yang baru saja pergi meninggalkan saya itu berpapasan di jalan, bagaimana ia akan menyapa
saya? atau bagaimana saya akan menyapanya? Atau haruskah saya melanjutkan saja
langkah saya dan berpura-pura tidak saling kenal? Masalahnya adalah, bagaimana
jadinya jika pada saat itu, ada teman atau kolega saya yang menyaksikan
perjumpaan antara dua orang yang memiliki wajah yang sama persis itu? di antara
kami berdua, manakah yang akan dikenalinya sebagai saya?
Saya
membayangkan situasi demikian menjadi tmbah rumit ketika saudara saya itu
bilang bahwa saya adalah bayangannya. Tentu saja saya tidak akan terima, justru
dialah yang menjadi bayangan saya dan memutuskan untuk pergi meninggalkan saya seorang
diri di depan cermin waktu itu.
Bagaimanapun, saya khawatir jika sampai terjadi
hal yang demikian. terlebih lagi, jika saudara saya itu sampai berbuat onar dan
mengantongi identitas saya. Bukan saya tak percaya padanya, tapi bukankah ia
sendiri juga tak percaya pada saya? Kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi.
Kalau
memang sudah demikian bulat keputusan saudara saya itu, tak mungkinlah rasanya
saya memaksanya kembali dan mendampingi tubuh saya. Saya sudah tak bisa
mencegah lagi keputusannya. Dan barangkali, dalam hal ini saya mesti mengalah
dan membiarkannya hidup sebagai saya. Dan sebagai konsekuensi dari keputusan
saya ini, saya mesti menyingkir dari kehidupan ini. berlama-lama di tempat ini,
saya takut akan muncul lagi hal-hal lain yang tidak pernah saya inginkan. Misalnya,
dianggap orang-orang sebagai nabi sebab saya tidak punya bayangan. Kemudian mereka
beriman, dan percaya sesungguh-sungguhnya bahwa saya ini seorang nabi. Lantas apa
yang akan saya katakan? Tidak ada yang menurunkan wahyu kepada saya.
Saya
pikir ada baiknya menjadi ronin
dan mengembara dari suatu tempat ke tempat lain. Akan ada banyak
pelajaran yang saya dapat. Dan bila sudah tiba masanya, saya mungkin akan
menghabiskan masa tua dengan menyendiri du gunung-gunung, menemukan pencerahan,
sambil sesekali melakukan upacara minum teh.
Masih
berdiri di depan cermin, tiba-tiba saya tersadar dan mengerti apa yang harus
segera saya lakukan. Saya bergegas ke kamar dan mengemasi barang-barang. Lalu pergi
sejauh saya bisa. Kepada ssaudara saya itu, saya tinggalkan saja pesan di
secarik kertas;
Bagaimanapun,
kamu adalah saudara saya. Saya memilih memberikan kesempatan bagimu buat
merasakan bagaimana lelahnya hidup. Selamaa
saya pergi mengunjungi tempat-tempat
yang jauh, gantikanlah pekerjaan-pekerjaan saya, sampai waktu yang tak
berbilang, saya tak akan lupa untukk sesekali mengunjungimu...
Tubuhmu