Sabtu, 14 Mei 2016

Percakapan Panjang



Entah kenapa, tiba-tiba saya ingin terlibat pada  percakapan panjang  dengan bayangan saya sendiri. Dari sudut pandangmu, sebut saja monolog, solilokui, atau apa sajalah. Begini ceritanya,  saya terlahir sebagai laki-laki, tetapi saya dapati bayangan saya di dinding dan di cermin  pada suatu malam, ketika saya sedang iseng berkaca sambil memecah butir-butir jerawat yang tumbuh di sekitaran hidung. Saya merasa aneh, bayangan hitam di dinding itu bukan seperti bayangan saya. Benda hitam itu memakai kerudung! 

Di depan cermin, saya amati bayangan itu baik-baik. Benar-benar bukan saya! Wajah kami tidak mirip, tidak ada jerawat di sekitar hidungnya,tak ada kumis dan janggut tipis yang sedang tumbuh subur-suburnya. Dan lagi, dia memakai kerudung merah jambu! Baik, saya menghela nafas, saya tutup mata, sejenak kemudian saya buka pandangan pelan-pelan. Siapa tahu saya hanya berhalusinasi, siapa tahu saya...

Ah, bayangan itu sungguh-sungguh nyata dan malah tersenyum-senyum mendapati tingkah laku saya dari balik cermin. Oh Tuhan. Saya cubit pipi sebelah kiri; ternyata saya memang tidak sedang bermimpi. Tiba-tiba saya jadi berpikir, sebenarnya siapakah yang ada di balik cermin? Sebenarnya siapakah yang jadi bayangan? Saya atau dia? Atau jangan-jangan cermin ini sudah linglung dan salah memantulkan wajah. 

Masih berdiri di depan cermin, saya baru menyadari satu hal; perempuan yang ada di dalam cermin itu... cantik sekali! Benar-benar cantik sehingga saya lupa, bukankah ini pujaan hati saya? Bukankah ia adalah perempun yang saya cintai sembunyi-sembunyi sejak satu tahun lalu? Bukankah kamu... ah lidah saya tidak kuat lagi mencipta pertanyaan-pertanyaan, di depan cermin itu, saya sudah terlanjur beku terpikat senyum dan tatapan matanya. Dalam hati, saya berujar, bagaimana bayangan kita bisa tertukar?

***

Jilbab baru, sehabis ulang tahun kudapat dari ibu. Barangkali tak ada salahnya kucoba di depan kaca, meski malam-malam begini? Warna merah jambu, uuhhhh! Ibu selalu tahu warna kesukaanku. Oh, aku dulu pernah bilang pada lelaki itu kalau warna kesukaanku adalah merah, tapi barusan kubilang warna kesukaanku adalah merah jambu. Ah, apa pedulinya?  

Kutanggalkan kerudung biru muda yang menutupi kepalaku, segera saja kupasang kerudung baru itu, mengunci lipatan-lipatannya dengan beberapa jarum pentul, dan membiarkan sisa kain itu menggantung sampai menutupi dadaku.  Sedang merapikan beberapa helai rambut yang keluar di pelipis, aku terperanjat dan spontan mundur tiga langkah ke belakang saat mendapati wajah di cermin itu bukan wajahku. Aku mengedipkan mata berkali-kali, siapa tahu cuma halusinasi, siapa tahu cuma mimpi, siapa tahu aku cuma...

Ah, wajah dalam cermin itu benar-benar bukan wajahku. Kucubit pipi kanan;  ternyata ini betulan! Itu seorang lelaki sedang berdiri di dalam cermin, sambil senyum-senyum memperhatikanku, kupungut botol-botol bedak yang tak sengaja terjatuh oleh hempasan tanganku, dan baru kusadarii bahwa lelaki dalam cermin itu adalah... ah, lidahku benar-benar sudah tidak sanggup melontarkan kata-kata, aku sudah terlanjur mematung dan takjub melihat bintang-bintang di bola matanya. Bukankah kamu lelaki yang sembunyi-sembunyi merayuku dengan puisi? Bukankah kamu...

Masih berdiri di depan cermin, kepalaku disergap oleh berupa-rupa pertanyaan, bagaimana bisa ia muncul di dalam cermin itu? mungkinkah bayangan kita bertukar? Siapakah sebenarnya yang bayangan, aku atau kamu? Atau jangan-jangan cermin ini sudah linglung dan salah memantulkan wajah?

***

Saya benar-benar tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika bayangan saya dan  bayangan perempuan itu benar-benar bertukar? Maksud saya, entah bagaimana jadinya kalau ketika menatap cermin, bayangan yang muncul bukan bayangan wajah saya, bukan bayangan wajahnya, melainkan orang lain.  Ah, saya jadi merasa tidak tenang, dan berpikir untuk segera menemui perempuan itu sambil membujuknya menukar kembali bayangan kami dengan sekeranjang puisi.

Saya jadi benar-benar kepikiran, jangan-jangan, yang bisa jatuh cinta bukan hanya tubuh, melainkan juga bayangan. Jangan-jangan bayangan saya sudah terlanjur jatuh cinta padanya, jangan-jangan bayangan perempuan itu jatuh cinta pula pada saya, sehingga mereka sekongkol dan bertukar posisi.

...

Saya jadi senyum-senyum sendiri, bukankah ada benarnya juga. Lebih baik saya tidak menemui perempuan itu. bukankah dengan begini, saya bisa terus-terus menatap wajah pujaan hati saya itu setiap kali menghadap cermin?

Ah, kadang-kadang cinta memang gila!
 
;